Gaya Bahasa (Kajian Sintaksis dan Semantik)
Dalam Cerpen “Lailatul Qadar” Karya Danarto
A. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan fungsi bahasa itu sendiri
sebagai alat komunikasi dan kontrol ssosial. Sehingga, bahasa berperan juga
dalam segala hal, termasuk dalam dunia sastra. Dalam sastra, bhasa memiliki
fungsi komunikatif yang sama dengan fungsi bahasa yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Komunikatif disini adalah dalam artian bahasa yang
digunakan dalam sastra merupakan jembatan atau perantara antara pengarang
dengan pembaca untuk menyampaikan maksud, tujuan, dan keinginan pengarang yang
tertuang dalam karyanya. Sehingga, tujuan diciptakannya karya sastra itu
tercapai. Dalam kehidupan sehari-hari, kedudukan ini dapat dianalogikan ke
dalam percakapan, pengarang sebagai pembicara yang ingin memberikan informasi
dan pembaca sebagai pendengar yang ingin memperoleh informasi.
Hal ini dapat ditinjau dari pendapat Nurgiyantoro (2005:
275) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra
lebih dari sekedar bahasa maupun deretan kata. Namun unsur “kelebihan”nya itu
hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan meklalui bahasa. Jadai, dari pendapat
Nurgiyantoro di atas, sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu itu hanya
dikonsumsikan melalui sarana bahasa.
Sastra merupakan pengungkapan baku tentang kejadian yang
telah disaksikan orang dalam kehidupan nyatanya, kejadian yang disaksikan orang
tentang kehidupan, kejadian yang direnungkan dan dirasakan orang mengenai
segi-segi kehidupan yang paling menarik dan kuat yang pada hakikatnya merupakan
pengungkapan kehidupan lewat bahasa (Hardjana, 1994:10). Dari pengertian
tersebut, bahasa merupakan media implementasi kejadian-kejadian dalam kehidupan
nyata, baik pikiran, ide, maupun perasaan yang dijadikan latar belakang dalam
pembuatan karya sastra itu sendiri.
Berbicara tentang sastra, hal tersebut tidak dapat
dipisahkan dari bahasa. Hal ini dikarenakan pada dasarnya karya sastra adalah
peristiwa bahasa. Yang dimaksud dengan pengertian ini adalah karya sastra itu
berasal dari pengalaman atau kenyataan yang ada di masyarakat, baik berupa
ucapan maupun tindakan yang berupa tanda atau lambang yang dapat didengar (bunyi
bahasa) atau dilihat (huruf) kemudian disampaikan dengan ragam bahasa yang
khas, yaitu ragam bahasa sastra. Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas,
yang hanya dapat dipahami dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw
dalam Sudjiman, 1993). Dari pengertian tersebut diperoleh pemahaman bahwa karya
sastra memiliki bahasa yang khas yang membutuhkan pemahaman dan pengertian
dengan konsep kebahsaan yang tepat. Meskipun bahasa bersifat arbitrer, namun
ketika bahasa tersebut sudah masuk atau muncul di depan umum maka dibutuhkan
aturan atau konsep yang sama tentang bahasa tersebut agar memperoleh makna yang
sama dalam arti umum, begitu juga dengan bahasa yang ada dalam karya sastra.
Menurut Welleck & Warren (1995) sastra adalah dengan
merinci penggunaan bahasa yang khas sastra (h.14). Sedangkan menurut Luxemburg
(1991:21) sastra memiliki bahasa yang khusus dengan cara penanganan yang
berbeda-beda, yang tidak hanya berlaku untuk puisi, tapi juga untuk prosa
sastra. Cara penggunaan bahasa seperti pemilihan kata, perangkaian kata menjadi
kalimat, dan penggabungan kalimat menjadi teks, merupakan hal yang harus dihadapi
oleh seseorang yang menggubah teks. Pokok dan tujuan pembuatan teks merupakan
hal yang mendasari penggunaan bahasa dalam teks tersebut. Pengarang juga
menjadi faktor penentu penggunaan bahasa ini. Hal ini terbukti pada hasil
tulisan seorang pengarang yang memuat penggunaan bahasa yang berbeda dengan
hasil tulisan pengarang yang lainnya.
Meskipun pengarang dalam membuat atau menciptakan sebuah
karya sastra memiliki perbedaan dalam menunjukan gaya bahasa yang digunakan,
tetapi secara umum gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan kata, struktur
kalimat, majas dan citraan, pola rima, dan matra yang mereka gunakan. Seorang
pembaca ataupun penikmat sastra dapat mengetahui atau menduga siapa pengarang
sebuah karya sastra yang dibacanya karena menemukan ciri-ciri penggunaan bahasa
yang khas, kecenderungan untuk secara konsestin menggunakan struktur tertentu,
gaya pribadi seseorang. Misalnya. Sutardji yang terkenal dengan kredo puisi
yang membebaskan kata dari makna sebenarnya yang sering menimbulkan gebrakan dalam
membuat puisi ataupun mengubah tatanan kata yang telah ada.
Makalah ini akan membahas beberapa gaya bahasa yang
digunakan dalam cerpen “Lailatul Qadar” karya Danarto dalam Kumpulan Cerpen
Puasa – Lebaran Kompas Tahun 2003 yang berjidul Kurma. Pembahasan mengenai gaya
bahasa meliputi pembahasan mengenai gaya sintaktis yang terdiri dari bentuk
pembalikan dan bentuk penghilangan, serta gaya semantis yang terbagi ke dalam
majas pertentangan, majas identitas dan majas kontiguitas. Lailatul Qadar adalah
salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut yang menceritakan tentanng
perjalanan mudik Satoto ke kempung halamannya yang dalam perjalanannya
diberikan kemudahan. Itulah sekilas cerita tentang cerpen Lailatul Qadar karya
Danarto.
B. PEMBAHASAN
Cerpen “Lailatul Qadar” dalam makalah ini dibahas dari
dua sudut pandang utama yaitu ke dalam dua bagian utama yaitu gaya sintaktis
dan gaya semantis. Gaya sintaktis sendiri dalam pembahasannya juga dibagi
menjadi dua pembahasan yaitu bentuk pemballikan dalam cerpen tersebut dan
bentuk penghilangan dalam cerpen yang sama. Sedangkan gaya semantis dibagi ke
dalam tiga majas, yaitu majas pertentangan, majas identitas dan majas
kontiguitas. Ketiga majas tersebut dalam pembahasannnya dibagi lagi menjadi
beberapa kelompok berdasarkan pengertian dan pembahasannyas.
1.
Gaya
Sintaktis
Dalam stilistika, gaya sintaktis adalah konstruksi
kalimat yang mencolok dari segi stilistika karena bangunnya yang menyimpang
dari susunan yang “normal” (Luxemburg, 1991:62). Gaya sintaksis sebenarnya
dibagi kedalam tiga jenis yang terdiri
dari bentuk pengulangan, bentuk pembalikan dan bentuk penghilangan. Namun
bentuk pengulangan tidak dijumpai dalam cerpen ini maka hanya bentuk pembalikan
dan bentuk penghilangan saja yang akan dibahas.
a.
Bentuk
pembalikan
Bentuk pembalikan
atau yang juga disebut dengan inversi, terjadi perubahan terhadap urutan kata
yang normal dalam kalimat. Dalam sastra fungsinya adalah agar suatu gambaran
menjadi ekspresif, atau untuk memberi penekanan pada kata-kata tertentu
(Luxemburg, 1991:63). Dalam cerpen ini tampak pada kalimat dibawah ini:
“….terang benderang wajahnya, merangkai kembang di alur
dadanya... (hal 1 dan 7).
Dalam kalimat di atas, bentuk pembalikan tampak dari
frasa terang benderang wajahnya. Kalimat normalnya adalah wajahnya
terang benderang, sesuai dengan prinsip DM dalam bahasa Indonesia, maka
dalam kalimat normalnya yang diterangkan dalah wajahnya yang terang benderang.Namun
untuk memberi memberi penekanan dan memberikan unsur keindahan dalam cerpen
tersebut maka frasa tersebut dibalik dengan unsur MD. Jadi, pembalikannya
menjadi terang benderang wajahnya. Walaupun dalam penulisannya mengalami
pembalikan, namun frasa tersebut memilliki makna tetap yaitu wajahnya yang
terang benderang.
Contoh lain adalah kalimat yang diucapkan oleh tokoh
Hamsad,
“….Satoto, Indah, dan sopirnya sungguh-sungguh tidak
habis mengerti mengapa tidak juga menyusul mobil-mobil lain mengikutinya?…” (h.
6).
Dari kutipan kalimat di atas, bentuk pembalikan tampak
dari frasa mengapa tidak juga menyusul mobil-mobil lain mengikutinya?. Kalimat normalnya adalah secara sintaksis mengapa
mobil-mobil lain tidak juga menyusul mengikutinya?, namun untuk memberi
penekanan bahwa dalam perjalanan mudik ke kampung halamanya Satoto dan
sekelurga tidak melihat mobil lain yang menyusulnya ketika ada jalan lebar dan
luas yanng tidak ada mobil lain selain mobil yang mereka tumpangi, maka farsa
tersebut mengalami bentuk pembalikan.
b.
Bentuk
penghilangan
Secara umum yang
termasuk dalam bentuk penghilangan adalah elips. Elips terjadi jika bagian
kalimat tertentu tidak ada (Luxemburg, 1991:64). Sedangkan menurut Keraf
(2007:132), elip atau elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan
suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan oleh pembaca
atau pendengar, sehingga struktur gramatikanya memenuhi pola yang berlaku. Jadi
elip adalah suatu gaya yang dengan sengaja digunakan oleh pengarang untuk
menghilangkan beberapa unsur kalimat yang ada di dalamnya untuk memperoleh
unsur keindahan dan pemampatan kata, namun tidak mengubah pesan yang ingin
disampaikan. Dalam cerpen ini tercermin pada kutipan kalimat di bawah ini:
Menyelamatkan puasa. Ya menyelamatkan puasa,...... (hal 3)
Dari kutipan kalimat di atas, tampak ada unsur yang
sengaja dihilangkan oleh pengarang. Dengan adanya bentuk penghilangan tersebut,
pembaca dalam memberikan makna terhadap kalimat tersebut menjadi bermacam-macam
karena setiap orang memiliki pandamngan yang berbeda-beda dalam memberikan
makna. Kalimat di atas tidak jelas siapa yang harus menyelamatkan puasa, apakah
Satoto, orang lain atau adlah semua orang yang ada dalam cerpen tersebut.
2.
Gaya
Semantis
Luxemburg (1991:64) mengatakan bahwa gaya semantis
mengacu pada makna kata, bagian kalimat, dan kalimat dan secara umum disebut
majas. Gaya semantis atau majas secara umum dibagi menjadi tiga macam yaitu
majas pertentangan, majas identitas, dan majas kontiguitas.
a.
Majas
pertentangan
Majas ini dikenal
dengan istilah antitese atau majas yang disertai dengan paralelisme sintaksis,
contohnya “Ada waktu untuk datang, ada waktu untuk pergi” (Luxemburg, 1991:64).
Majas pertentangan dalam cerpen ini terlihat dari kutipan kalimat di bawah ini:
“….Langit dipenuhi bintang-bintang yang berselancar ke
atas dan ke bawah….” (hal. 6)
Dalam kutipan di atas, majas pertentangan terlihat dari
pengunaan dua kata yang berlawanan yaitu
kata ke atas dan ke bawah. Dengan adanya pemunculan dua kata yang
berlawanan tersebut dalam satu kalimat menjadikan kalimat tersebut indah untuk
dibaca dan memberikan aspek khusus dalam pembacaanya.
Selain ada dalam kutipan kalimat di atas, majas
pertentangan juga tampak dalam kutipan kalimat di bawah ini:
”...Alam musik itu mengejawantah keluar masuk lewat
jendela mobil...” (hal 6)
dari kutipan di atas, majas pertentangan dihadirkan
dengan cara menggunakan dua kalimat yang memiliki perlawanan makna yang sangat
terasa yaitu kata keluar dan masuk. Secara umum, dua kata
tersebut memiliki makna yang saling bertolak belakang, namun oleh pengarang dua
kata tersebut dihadirkan secara berurutan untuk menimbulkan kesan khusus kepada
pembaca.
b.
Majas
identitas
Majas
identitas mencakup majas persamaan atau simile, majas metafora, dan majas
personifikasi.. Berikut ini adalah pembahasannya secara lebih jelas dan
terperinci.
1)
Majas
Persaman atau simile
Majas persamaan
atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu menyatakan
langsung sesuatu yang sama denga yang lain (Keraf, 2007:138). Biasanya majas
persamaan atau simile ditandai denngan penggunaan kata-kata seperti, bagaikan,
laksana, bak, sebagai, sama, dan sebagainya.
Majas persamaan
atau simile tampak dalam kutipan di bawah ini:
”Aneh, Desember tahun ini seperti bulan Juli saja,...”
(hal 1)
”Mendadak pepohonan di kanan kiri jalan seperti
pohon-pohon neon yang cemerlang menerangi jalan dan angkasa....” (hal 6)
Dalam kutipan di atas, pengarang menyamakan bulan
Desember dengan bulan Juli karena sama panasnya, yang seharusnya terjadi adalah
bulan Desember musim hujan. Sedangkan pada kalimat kedua, pengarang menyamakan
pepohonan yang ada di sekitar jalan dengan lampu neon karena sama-sama dan
terang benderang. Skedua kalimat tersebut sama-sama menggunakan kata seperti
untuk menandakan adanya majas persamaan.
2)
Majas
Metafora
Majas metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam
bentuk yang singkat, seperti bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cidera mata,
dan sebagainya (Keraf, 2007:139).
Dalam cerpen ini,
majas metafora tampak dalam kutipan kalimat di bawah ini:
”...sebatang jalan panjang yang longgar kelihatan jelas
padahal malam gelap gulita.” (hal 5)
...Anak-anak melongok ke jendela sambil bersorak
kegirangan.” (hal 6)
Dari kutipan kalimat di atas, kata malam disandingkan
secara langsung dengan gelap gulita, yang sama-sama memilki kesamaan
makma yaitu kelam. Sedangkan pada kuitipan kalimat yang kedua majas metaforra
tampak dengan penggunaan kata bersorak kegirangan yang sama-sama
memiliki kesamaan makna dan tidak bisa dipisahkan.
3)
Majas
Personifikasi
Majas personifikasi
adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan
(Keraf, 2007:140). Dengan demikian, majas personifikasi adalah majas yang
menghidupkan benda mati.
Dalam cerpen
Lailatul Qadar karya Danarto, majas personifikasi tampak dari kalimat di bawah
ini:
“….Langit dipenuhi bintang-bintang yang berselancar ke
atas dan ke bawah….” (hal. 6)
”Mobil terus meluncur bagai kijang.” (hal 6)
”Bola-bola cahaya sebesar rumah berloncatan di kanan kiri
mobil Satoto” (hal 6)
Dari kutipan kalimat di atas, benda-benda yang mati
(bintang-bintang. Mobil, dan cahaya) diibaratkan seperti manusia yang bisa
bergerak dan seakan hidup dengan menggunakan kata-kata berselancar, meluncur,
dan berloncatan. Bintang-bintang diibaratkan seperti manusia yang mampu
berselancar, demikian juga dengan mobil yang pada dasarnya adalah bemda mati
dalam cerpen tersebut dikatakan dapat melincur layaknya manusia yang bergerak.
Sedangkan cahaya dikatakan dapat berloncatan seperti manusia. Dengan adanya
majas ini, cerpen tersebut manjadai kaya akan makna-makna khusus yang membuat
cerpen tersebut indah dan nikmat untuk dibaca.
c.
Majas
kontiguitas
Luxemburg (1991:67)
mengatakan bahwa di dalam majas kontiguitas terdapat pergantian satu pengertian
dengan pengertian yang lain namun keduanya tidak memiliki hubungan persamaan
melainkan hubungan kedekatan Majas ini terbagi ke dalam dua bentuk yaitu
metonimia dan sinekdok.
1)
Metonimia
Dalam metonimia ada
kaitan makna tertentu yang dapat didorong oleh berbagai motivasi, misalnya
sebab digantikan akibat atau isi digantikan wadah (Luxemburg, 1989, 189). Sedangkan
menurut Keraf (2007:142), majas metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang
sangat dekat. Contoh majas metonimia dalam cerpen ini adalah
“…argumentasi itu hanya menyisakan kepandaian bersilat
lidah.…” (hal 4)
Dalam kutipan di atas, kata bersilat lidah adalah pernyataan tentang kepandaian
memberikan pendapat dan juga beragumentasi. Kedua hal tersebut adalah dua hal
yang memiliki kedekatan arti.
2)
Sinekdoke
Majas sinekdoke
adalah semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal
untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan
sesuatu. Dua bentuk yang paling terkenal dalam sinekdok adalah totum pro parte
dan pars pro toto. Disini hanya akan dibahas bentuk pars pro toto. Hal ini
dikarenakan dalam cerpen ini majas sinekdoke yang muncul adalah jenis pars pro
toto.
Pars pro toto adalah penyebutan sebagian menggantikan apa
yang sebenarnya merupakan satu keseluruhan (Keraf, 2007:142). Hal tersebut tampak dalam kutipan kalimat di
bawah ini:
“…meski setuju dengan anjuran Pak Kiai Zarkasi, Toto
sekeluarga mudik juga sebelum sholat Ied di Plaza Masjid Biru kesayangannya….”
(hal 5).
Pada kalimat tersebut penyebutan kata Toto sekelurga
bukan untuk Toto dan keluarganya saja tetapi juga mengacu untuk keselurahan
banyak orang. Yang mana kebanyakan orang lebih memilih untuk mudik dulu sebelum
sholat Ied daripada harus menjalankan apa yang dikatakan oleh orang lain
ataupun pemuka agama.
C.
KESIMPULAN
Berdasrkan analisis yang dilakukan terhadap penggunaan
bahasa menurut gaya dan majas yang lebih dititikberatkan pada aspek sintaksis
dan semantiknya yang ditemukan dalam cerpen Lailatul Qadar diatas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa cerpen tersebut menggunakan bahasa yang khas sastra. Kekhasan
bahasa tersebut tampak dari penggunaan bahasa yang menyimpang dengan
menggunakan bentuk pembalikan dan penghilangan serta menggunakan bermacam-macam
mjas dalam karyanya.
DAFTAR RUJUKAN
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kompas. 2002. Kurma: Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran
Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Luxemburg, Jan van, dkk. penerjemah Dick Hartoko. 1989. Pengantar
Ilmu Sastra, Jakarta: Intermasa..
Luxemburg, Jan van, dkk. penerjemah Akhadiati Ikram. 1991. Tentang
Sastra, Jakarta: Intermasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press
Sudjiman, Panuti. 1993. Bungan Rampai Stilistika. Jakarta:
PT Pustaka Utama Garfiti.
Welleck,
Rene dan Austin Warren, penerjemah Melani Budianta. 1995. Teori Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar