Rabu, 04 Januari 2012

Makalah analisis cerpen Lailatul Qodar karya Danarto


Gaya Bahasa (Kajian Sintaksis dan Semantik)
Dalam Cerpen “Lailatul Qadar” Karya Danarto

A. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang sangat berperan dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat komunikasi dan kontrol ssosial. Sehingga, bahasa berperan juga dalam segala hal, termasuk dalam dunia sastra. Dalam sastra, bhasa memiliki fungsi komunikatif yang sama dengan fungsi bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Komunikatif disini adalah dalam artian bahasa yang digunakan dalam sastra merupakan jembatan atau perantara antara pengarang dengan pembaca untuk menyampaikan maksud, tujuan, dan keinginan pengarang yang tertuang dalam karyanya. Sehingga, tujuan diciptakannya karya sastra itu tercapai. Dalam kehidupan sehari-hari, kedudukan ini dapat dianalogikan ke dalam percakapan, pengarang sebagai pembicara yang ingin memberikan informasi dan pembaca sebagai pendengar yang ingin memperoleh informasi.
Hal ini dapat ditinjau dari pendapat Nurgiyantoro (2005: 275) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra lebih dari sekedar bahasa maupun deretan kata. Namun unsur “kelebihan”nya itu hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan meklalui bahasa. Jadai, dari pendapat Nurgiyantoro di atas, sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu itu hanya dikonsumsikan melalui sarana bahasa.
Sastra merupakan pengungkapan baku tentang kejadian yang telah disaksikan orang dalam kehidupan nyatanya, kejadian yang disaksikan orang tentang kehidupan, kejadian yang direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik dan kuat yang pada hakikatnya merupakan pengungkapan kehidupan lewat bahasa (Hardjana, 1994:10). Dari pengertian tersebut, bahasa merupakan media implementasi kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata, baik pikiran, ide, maupun perasaan yang dijadikan latar belakang dalam pembuatan karya sastra itu sendiri.

Berbicara tentang sastra, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Hal ini dikarenakan pada dasarnya karya sastra adalah peristiwa bahasa. Yang dimaksud dengan pengertian ini adalah karya sastra itu berasal dari pengalaman atau kenyataan yang ada di masyarakat, baik berupa ucapan maupun tindakan yang berupa tanda atau lambang yang dapat didengar (bunyi bahasa) atau dilihat (huruf) kemudian disampaikan dengan ragam bahasa yang khas, yaitu ragam bahasa sastra. Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas, yang hanya dapat dipahami dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw dalam Sudjiman, 1993). Dari pengertian tersebut diperoleh pemahaman bahwa karya sastra memiliki bahasa yang khas yang membutuhkan pemahaman dan pengertian dengan konsep kebahsaan yang tepat. Meskipun bahasa bersifat arbitrer, namun ketika bahasa tersebut sudah masuk atau muncul di depan umum maka dibutuhkan aturan atau konsep yang sama tentang bahasa tersebut agar memperoleh makna yang sama dalam arti umum, begitu juga dengan bahasa yang ada dalam karya sastra.
Menurut Welleck & Warren (1995) sastra adalah dengan merinci penggunaan bahasa yang khas sastra (h.14). Sedangkan menurut Luxemburg (1991:21) sastra memiliki bahasa yang khusus dengan cara penanganan yang berbeda-beda, yang tidak hanya berlaku untuk puisi, tapi juga untuk prosa sastra. Cara penggunaan bahasa seperti pemilihan kata, perangkaian kata menjadi kalimat, dan penggabungan kalimat menjadi teks, merupakan hal yang harus dihadapi oleh seseorang yang menggubah teks. Pokok dan tujuan pembuatan teks merupakan hal yang mendasari penggunaan bahasa dalam teks tersebut. Pengarang juga menjadi faktor penentu penggunaan bahasa ini. Hal ini terbukti pada hasil tulisan seorang pengarang yang memuat penggunaan bahasa yang berbeda dengan hasil tulisan pengarang yang lainnya.
Meskipun pengarang dalam membuat atau menciptakan sebuah karya sastra memiliki perbedaan dalam menunjukan gaya bahasa yang digunakan, tetapi secara umum gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan kata, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, dan matra yang mereka gunakan. Seorang pembaca ataupun penikmat sastra dapat mengetahui atau menduga siapa pengarang sebuah karya sastra yang dibacanya karena menemukan ciri-ciri penggunaan bahasa yang khas, kecenderungan untuk secara konsestin menggunakan struktur tertentu, gaya pribadi seseorang. Misalnya. Sutardji yang terkenal dengan kredo puisi yang membebaskan kata dari makna sebenarnya yang sering menimbulkan gebrakan dalam membuat puisi ataupun mengubah tatanan kata yang telah ada.
Makalah ini akan membahas beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen “Lailatul Qadar” karya Danarto dalam Kumpulan Cerpen Puasa – Lebaran Kompas Tahun 2003 yang berjidul Kurma. Pembahasan mengenai gaya bahasa meliputi pembahasan mengenai gaya sintaktis yang terdiri dari bentuk pembalikan dan bentuk penghilangan, serta gaya semantis yang terbagi ke dalam majas pertentangan, majas identitas dan majas kontiguitas. Lailatul Qadar adalah salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut yang menceritakan tentanng perjalanan mudik Satoto ke kempung halamannya yang dalam perjalanannya diberikan kemudahan. Itulah sekilas cerita tentang cerpen Lailatul Qadar karya Danarto.

B. PEMBAHASAN
Cerpen “Lailatul Qadar” dalam makalah ini dibahas dari dua sudut pandang utama yaitu ke dalam dua bagian utama yaitu gaya sintaktis dan gaya semantis. Gaya sintaktis sendiri dalam pembahasannya juga dibagi menjadi dua pembahasan yaitu bentuk pemballikan dalam cerpen tersebut dan bentuk penghilangan dalam cerpen yang sama. Sedangkan gaya semantis dibagi ke dalam tiga majas, yaitu majas pertentangan, majas identitas dan majas kontiguitas. Ketiga majas tersebut dalam pembahasannnya dibagi lagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan pengertian dan pembahasannyas.
1.      Gaya Sintaktis
Dalam stilistika, gaya sintaktis adalah konstruksi kalimat yang mencolok dari segi stilistika karena bangunnya yang menyimpang dari susunan yang “normal” (Luxemburg, 1991:62). Gaya sintaksis sebenarnya dibagi  kedalam tiga jenis yang terdiri dari bentuk pengulangan, bentuk pembalikan dan bentuk penghilangan. Namun bentuk pengulangan tidak dijumpai dalam cerpen ini maka hanya bentuk pembalikan dan bentuk penghilangan saja yang akan dibahas.


a.      Bentuk pembalikan
Bentuk pembalikan atau yang juga disebut dengan inversi, terjadi perubahan terhadap urutan kata yang normal dalam kalimat. Dalam sastra fungsinya adalah agar suatu gambaran menjadi ekspresif, atau untuk memberi penekanan pada kata-kata tertentu (Luxemburg, 1991:63). Dalam cerpen ini tampak pada kalimat dibawah ini:

“….terang benderang wajahnya, merangkai kembang di alur dadanya... (hal 1 dan 7).

Dalam kalimat di atas, bentuk pembalikan tampak dari frasa terang benderang wajahnya. Kalimat normalnya adalah wajahnya terang benderang, sesuai dengan prinsip DM dalam bahasa Indonesia, maka dalam kalimat normalnya yang diterangkan dalah wajahnya yang terang benderang.Namun untuk memberi memberi penekanan dan memberikan unsur keindahan dalam cerpen tersebut maka frasa tersebut dibalik dengan unsur MD. Jadi, pembalikannya menjadi terang benderang wajahnya. Walaupun dalam penulisannya mengalami pembalikan, namun frasa tersebut memilliki makna tetap yaitu wajahnya yang terang benderang.
Contoh lain adalah kalimat yang diucapkan oleh tokoh Hamsad,

“….Satoto, Indah, dan sopirnya sungguh-sungguh tidak habis mengerti mengapa tidak juga menyusul mobil-mobil lain mengikutinya?…” (h. 6).

Dari kutipan kalimat di atas, bentuk pembalikan tampak dari frasa mengapa tidak juga menyusul mobil-mobil lain mengikutinya?. Kalimat normalnya adalah secara sintaksis mengapa mobil-mobil lain tidak juga menyusul mengikutinya?, namun untuk memberi penekanan bahwa dalam perjalanan mudik ke kampung halamanya Satoto dan sekelurga tidak melihat mobil lain yang menyusulnya ketika ada jalan lebar dan luas yanng tidak ada mobil lain selain mobil yang mereka tumpangi, maka farsa tersebut mengalami bentuk pembalikan.
b.      Bentuk penghilangan
Secara umum yang termasuk dalam bentuk penghilangan adalah elips. Elips terjadi jika bagian kalimat tertentu tidak ada (Luxemburg, 1991:64). Sedangkan menurut Keraf (2007:132), elip atau elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikanya memenuhi pola yang berlaku. Jadi elip adalah suatu gaya yang dengan sengaja digunakan oleh pengarang untuk menghilangkan beberapa unsur kalimat yang ada di dalamnya untuk memperoleh unsur keindahan dan pemampatan kata, namun tidak mengubah pesan yang ingin disampaikan. Dalam cerpen ini tercermin pada kutipan kalimat di bawah ini:

Menyelamatkan puasa. Ya menyelamatkan puasa,...... (hal 3)

Dari kutipan kalimat di atas, tampak ada unsur yang sengaja dihilangkan oleh pengarang. Dengan adanya bentuk penghilangan tersebut, pembaca dalam memberikan makna terhadap kalimat tersebut menjadi bermacam-macam karena setiap orang memiliki pandamngan yang berbeda-beda dalam memberikan makna. Kalimat di atas tidak jelas siapa yang harus menyelamatkan puasa, apakah Satoto, orang lain atau adlah semua orang yang ada dalam cerpen tersebut.

2.      Gaya Semantis
Luxemburg (1991:64) mengatakan bahwa gaya semantis mengacu pada makna kata, bagian kalimat, dan kalimat dan secara umum disebut majas. Gaya semantis atau majas secara umum dibagi menjadi tiga macam yaitu majas pertentangan, majas identitas, dan majas kontiguitas.
a.      Majas pertentangan
Majas ini dikenal dengan istilah antitese atau majas yang disertai dengan paralelisme sintaksis, contohnya “Ada waktu untuk datang, ada waktu untuk pergi” (Luxemburg, 1991:64). Majas pertentangan dalam cerpen ini terlihat dari kutipan kalimat di bawah ini:

“….Langit dipenuhi bintang-bintang yang berselancar ke atas dan ke bawah….” (hal. 6)

Dalam kutipan di atas, majas pertentangan terlihat dari pengunaan dua  kata yang berlawanan yaitu kata ke atas dan ke bawah. Dengan adanya pemunculan dua kata yang berlawanan tersebut dalam satu kalimat menjadikan kalimat tersebut indah untuk dibaca dan memberikan aspek khusus dalam pembacaanya.
Selain ada dalam kutipan kalimat di atas, majas pertentangan juga tampak dalam kutipan kalimat di bawah ini:
”...Alam musik itu mengejawantah keluar masuk lewat jendela mobil...” (hal 6)

dari kutipan di atas, majas pertentangan dihadirkan dengan cara menggunakan dua kalimat yang memiliki perlawanan makna yang sangat terasa yaitu kata keluar dan masuk. Secara umum, dua kata tersebut memiliki makna yang saling bertolak belakang, namun oleh pengarang dua kata tersebut dihadirkan secara berurutan untuk menimbulkan kesan khusus kepada pembaca.

b.      Majas identitas
Majas identitas mencakup majas persamaan atau simile, majas metafora, dan majas personifikasi.. Berikut ini adalah pembahasannya secara lebih jelas dan terperinci.
1)      Majas Persaman atau simile
Majas persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu menyatakan langsung sesuatu yang sama denga yang lain (Keraf, 2007:138). Biasanya majas persamaan atau simile ditandai denngan penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, laksana, bak, sebagai, sama, dan sebagainya.
Majas persamaan atau simile tampak dalam kutipan di bawah ini:
”Aneh, Desember tahun ini seperti bulan Juli saja,...” (hal 1)
”Mendadak pepohonan di kanan kiri jalan seperti pohon-pohon neon yang cemerlang menerangi jalan dan angkasa....” (hal 6)

Dalam kutipan di atas, pengarang menyamakan bulan Desember dengan bulan Juli karena sama panasnya, yang seharusnya terjadi adalah bulan Desember musim hujan. Sedangkan pada kalimat kedua, pengarang menyamakan pepohonan yang ada di sekitar jalan dengan lampu neon karena sama-sama dan terang benderang. Skedua kalimat tersebut sama-sama menggunakan kata seperti untuk menandakan adanya majas persamaan.

2)      Majas Metafora
Majas metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat, seperti bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cidera mata, dan sebagainya (Keraf, 2007:139).
Dalam cerpen ini, majas metafora tampak dalam kutipan kalimat di bawah ini:
”...sebatang jalan panjang yang longgar kelihatan jelas padahal malam gelap gulita.” (hal 5)
...Anak-anak melongok ke jendela sambil bersorak kegirangan.” (hal 6)

Dari kutipan kalimat di atas, kata malam disandingkan secara langsung dengan gelap gulita, yang sama-sama memilki kesamaan makma yaitu kelam. Sedangkan pada kuitipan kalimat yang kedua majas metaforra tampak dengan penggunaan kata bersorak kegirangan yang sama-sama memiliki kesamaan makna dan tidak bisa dipisahkan.
3)      Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (Keraf, 2007:140). Dengan demikian, majas personifikasi adalah majas yang menghidupkan benda mati.
Dalam cerpen Lailatul Qadar karya Danarto, majas personifikasi tampak dari kalimat di bawah ini:
“….Langit dipenuhi bintang-bintang yang berselancar ke atas dan ke bawah….” (hal. 6)
”Mobil terus meluncur bagai kijang.” (hal 6)
”Bola-bola cahaya sebesar rumah berloncatan di kanan kiri mobil Satoto” (hal 6)

Dari kutipan kalimat di atas, benda-benda yang mati (bintang-bintang. Mobil, dan cahaya) diibaratkan seperti manusia yang bisa bergerak dan seakan hidup dengan menggunakan kata-kata berselancar, meluncur, dan berloncatan. Bintang-bintang diibaratkan seperti manusia yang mampu berselancar, demikian juga dengan mobil yang pada dasarnya adalah bemda mati dalam cerpen tersebut dikatakan dapat melincur layaknya manusia yang bergerak. Sedangkan cahaya dikatakan dapat berloncatan seperti manusia. Dengan adanya majas ini, cerpen tersebut manjadai kaya akan makna-makna khusus yang membuat cerpen tersebut indah dan nikmat untuk dibaca.
c.       Majas kontiguitas
Luxemburg (1991:67) mengatakan bahwa di dalam majas kontiguitas terdapat pergantian satu pengertian dengan pengertian yang lain namun keduanya tidak memiliki hubungan persamaan melainkan hubungan kedekatan Majas ini terbagi ke dalam dua bentuk yaitu metonimia dan sinekdok.
1)      Metonimia
Dalam metonimia ada kaitan makna tertentu yang dapat didorong oleh berbagai motivasi, misalnya sebab digantikan akibat atau isi digantikan wadah (Luxemburg, 1989, 189). Sedangkan menurut Keraf (2007:142), majas metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Contoh majas metonimia dalam cerpen ini adalah
“…argumentasi itu hanya menyisakan kepandaian bersilat lidah.…” (hal 4)

Dalam kutipan di atas, kata bersilat lidah  adalah pernyataan tentang kepandaian memberikan pendapat dan juga beragumentasi. Kedua hal tersebut adalah dua hal yang memiliki kedekatan arti.
2)      Sinekdoke
Majas sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sesuatu. Dua bentuk yang paling terkenal dalam sinekdok adalah totum pro parte dan pars pro toto. Disini hanya akan dibahas bentuk pars pro toto. Hal ini dikarenakan dalam cerpen ini majas sinekdoke yang muncul adalah jenis pars pro toto.
Pars pro toto adalah penyebutan sebagian menggantikan apa yang sebenarnya merupakan satu keseluruhan (Keraf, 2007:142).  Hal tersebut tampak dalam kutipan kalimat di bawah ini:
“…meski setuju dengan anjuran Pak Kiai Zarkasi, Toto sekeluarga mudik juga sebelum sholat Ied di Plaza Masjid Biru kesayangannya….” (hal 5).

Pada kalimat tersebut penyebutan kata Toto sekelurga bukan untuk Toto dan keluarganya saja tetapi juga mengacu untuk keselurahan banyak orang. Yang mana kebanyakan orang lebih memilih untuk mudik dulu sebelum sholat Ied daripada harus menjalankan apa yang dikatakan oleh orang lain ataupun pemuka agama.

C.          KESIMPULAN
Berdasrkan analisis yang dilakukan terhadap penggunaan bahasa menurut gaya dan majas yang lebih dititikberatkan pada aspek sintaksis dan semantiknya yang ditemukan dalam cerpen Lailatul Qadar diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa cerpen tersebut menggunakan bahasa yang khas sastra. Kekhasan bahasa tersebut tampak dari penggunaan bahasa yang menyimpang dengan menggunakan bentuk pembalikan dan penghilangan serta menggunakan bermacam-macam mjas dalam karyanya. 

DAFTAR RUJUKAN

Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kompas. 2002. Kurma: Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Luxemburg, Jan van, dkk. penerjemah Dick Hartoko. 1989. Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Intermasa..

Luxemburg, Jan van, dkk.  penerjemah Akhadiati Ikram. 1991. Tentang Sastra, Jakarta: Intermasa.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press
Sudjiman, Panuti. 1993. Bungan Rampai Stilistika. Jakarta: PT Pustaka Utama Garfiti.

Welleck, Rene dan Austin Warren, penerjemah Melani Budianta. 1995. Teori Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar