Senin, 09 Januari 2012

Cerpen Sodom dan Gomora


 CERPEN KOMPAS PILIHAN 1980
SODOM DAN GOMORA
Agus Vrisaba

Sementara Bapak Pendeta sakit, Bapak Lutus menggantikanya memberikan wejangan pada setiap pertemuan mingguan yang dilakukan secara bergilir di rumah-rumah anggota jemaah. Para anggota jemaah sendiri yang menetapkannya sebagai  pemberi  wejangan, setelah disetujui oleh Bapak Pendeta. Mereka memandang Bapak Lutus sebagai satu-satunya sesama anggota jema’ah yang cocok untuk tugas itu. Selain karena kesetiaanya mengunjungi gereja setiap hari Minggu dan menghadiri setiap pertemuan mingguan, tanpa pernah sekali pun absen, beliau juga dianggap mempunyai pengetahuan yang luas mengenai Alkitab. Sebab, di samping setia mendengarkan khotbah Bapak  Pendeta di gereja dan wejanganya dalam pertemuan mingguan, Bapak Lutus  juga rajin mempelajari Alkitab di rumahnya sendiri.
Sore itu, dalam pertemuan mingguan di rumah Bapak Martin, dengan caranya yang  sangat memukau, Bapak Lutus mengambil peristiwa Sodom dan Gomora sebagai bahan wejangannya. Tanpa menjamah Alkitab yang terletak di atas meja di depannya, beliau menceitakan peristiwa Sodom dan Gomora dengan mengutip setiap kalimat dalam Kitab Kejadian 19, di mana peristiwa itu termaktup, dengan sangat cepat, sehingga para pendengarnya sangat kagum kepadanya. Ini menunjukan, bahwa isi Alkitab telah beliau hafal sampai ke setiap katanya.
“Maka bini Lut itu menoleh ke belakang, lalu jadilah ia sebatang tiang garam,” katanya dengan tekanan berat pada kalimat ini. Kemudian beliau berhenti sejenak sebelum melanjutkannya lebih jauh, untuk memandangi mata para pendengarnya satu per satu, seakan hendak menguji adakah kengerian di mata mereka itu?
Ketika Bapak Lutus  selesai memberi wejangan, pertemuan mingguan itu dilanjutkan dengan pembicaraan-pembicaraan ringan. Akan tetapi, sebagian hadirin masih terpukau oleh wejangan Bapak Lutus barusan, sehingga pembicaraan mereka masih berkisar sekitar peristiwa Sodom dan Gomora. Sekali lagi Bapak Lutus menekankan makna peristiwa Sodom dan Gomora itu untuk zaman sekarang.
“Manusia sekarang,” kata Bapak Lutus,” serupa dengan penduduk kedua kota yang terletak di ujung selatan Laut Mati pada zamannya itu. Kejahatan terjadi di mana-mana dan Tuhan hanya menjadikan dunia ini sebagai Sodom dan Gomora. Dan hanya orang-orang yang menghadirkan Tuhan ke dalam batinya, bukan hanya sekedar di bibir saja, yang akan diselamatkan seperti Lut dan kedua orang anak gadisnya itu.”
Para hadirin mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka hendak mengajukan pertanyaan: “Tapi, mengapa bininya Lut menoleh ke belakang?”---, tapi membatalkanya karena Bapak Lutus sudah bangkit berdiri dan pamitan kepada Bapak Martin, diiringkan oleh yang lain-lain.
Dalam perjalanan pulang Bapak Lutus merasa senang. Hampir  semua yang hadir di dalam pertemuan mingguan di rumah Bapak Martin itu memuji-mujinya. Masih mengiang di telinganya ucapan Bapak Martin sendiri: “Nama anda mengandung nama Lut dan Anda memang tepat menyandang nama itu, sebab jika dunia dibinasakan seperti Sodom dan Gomora, maka Anda tentu akan diselamatkanya.”
Mengapa tidak? Setiap pagi, bangun dari tidur dia berdoa. Mau sarapan dia berdoa. Mau mulai bekerja di kantornya, dia berdoa. Makan siang sebelum dan sesudahnya, dia berdoa. Makan malam, bersama-sama anak-anak dan istrinya, mereka berdoa. Hendak tidur dia buka Alkitab dan membacanya sampai kantuknya tiba, kemudian memuji namaNya, baru tidur. Pada setiap kali diterima uang gajinya, tak lupa ia memuji namaNya.
Sesampai di rumah, dengan sangat puas dan wajah penuh senyum, dia ceritakan apa yang sudah terjadi di rumah Bapak Martin. “Sangat besar, kemungkinannya.” Katanya, “Aku akan diangkat menjadi Pendeta. Itulah harapanku. Dan, kalau itu nanti terjadi, kita tak perlu lagi mengontrak rumah, kita akan tinggal di rumah di samping gereja itu. Uang yang biasanya kita pakai untuk mengontrak rumah, bias kita tabung.”
Istrinya hanya diam saja. Bukanya tidak senang, tapi ia takut salah berkomentar, seperti sudah sering terjadi, darah tinggi suaminya akan memuncak, dan ia akan sangat menderita kalau sampai diamuk.
Waktu makn malam, Rino, anak lelakinya yang tertua, tidak hadir. “Ke mana Rino?” tanya Bapak Lutus kepada istrinya.
“Pergi dengan sepeda motornya yang baru,”jawab istrinya.
“Kenapa dibiarkan saja? Sepeda motor itu  masih baru, nanti dia menaikinya dengan kencang sehingga mesinnya bisa rusak,”kata Bapak Lutus.
Istrinya tak buka mulut lagi, takut salah. Merekas makan dengan diam. Bapak Lutus agak terganggu pikirannya, sehingga selesai makan dia lupa berdoa.untung istrinya memperingatkanya.
Ketika sedang menyaksikan acara televisi, Rino datang tanpa diawali deru sepeda motornya. Wajahnya pucat. “Mana sepeda motornya?” Tanya Bapak Lutus. Tapi, Rino geragapan dan lama tak bias menjawab. Bapak Lutus bangkit dari duduknya, mendekati anak lelakinya itu dan mengulangi lagi pertanyaanya.
“Hi…hi…hi…lang!” jawab Rino membikin Bapak Lutus tersentak dan wajahnya seketika lebih pucat dari wajah Rino.
“Apa?”
“Saya…saya pergi ke rumah teman. Sep…sepeda motor itu saya…saya taruh di…di…diluar. Dan…”
“Kau tentu lupa menguncinya!” bentak Bapak Lutus.
“Tid…tid… Ya!”
Bapak Lutus menampar pipi kiri anaknya, Sekarang wajahnya merah-padam. Rino masih berdiri di depannya,seakan menyediakan pipi kanannya. Bapak Lutus menampar pipi kanannya. Rino mundur.
“Kau tahu, aku beli sepeda motor itu dengan uang yang aku tabung berbulan-bulan lamanya… dan bukan untuk-mu! Aku beli sepeda motor itu untuk aku pergi ke kantor, agar bisa menghemat uang transport. Tapi, sekarang kau telah menghilangkannya. Aku naik apa ini?”
“Maaf, Pak, saya… saya tidak sengaja.”
“Tidak sengaja! Begitu gampang kau berkata. Sudah lapor ke polisi!”
Setelah Rinon pergi, seisi rumah dimarahinya. Istrinya juga kena tampar. “Kenapa kau biarkan anak bengal itu memakainya!” hardik Bapak Lutus kepada istrinya. “Kau ini macam bininya Lut!”
“Aku kan tidak tahu kalau mau kejadian begini!”
 Tangan Bapak Lutus melayang ke pipi kanan istrinya dan istrinya terdiam dan istrinya terdiam.
Semalam bapak Lutus tidak bisa tidur. Hilangnya sepeda motor itu membuat hatinya merasa sangat kesal, kecewa,  dan menyesal. Tanpa berdoa lagi dia banting tubuhnya ke atas pembaringannya. Tidak ada waktu menghadirkan Tuhan ke dalam batinya. Pikiranya penuh diliputi ke kecewaan dan sesal. Baru dua kali dia sepeda motornya itu. Kalau tahu begini, dia lebih baik tidak memakainya ke rumah Bapak Martin, dia berpikir lain. Kalau dia naik sepeda motor, hadirin di pertemuan mingguan itu tentu akan memandangnya sebagai orang yang masih dipengaruhi harta dunia. Di depan mata mereka dia harus kelihatan seperti orang sederhana, tidak tergoyahkan oleh godaan, yang seperti  sering dia katakana kepada mereka, pada zaman ini begitu banyak , antara lain barang-barang mewah, mobil, sepeda motor, televisi, dan sebagainya dan sebagainya.
Setelah semalam tak tidur, besok paginya-hari Minggu Bapak Lutus masih uring uringan. Dan, untuk pertama kalinya dia lupa ke gereja. Sepanjang hari kerjanya hanya uring-uringan atau duduk berwajah mendung. Makan tanpa selera, minum tidak disentuhnya. Malamnya dia tidak tidur lagi.
Keesokan harinya  seisi rumah gempar. Istrinya menemukan dia sedang berdiri kaku di belakang jendela dalam kamarnya, dengan kepala menoleh ke belakang, dan sudah mati. Kulitnya begitu kering dan bergaram.
Pada pertemuan minggu berikutnya, sekali ini di rumah Bapak Netano, seseorang mengatakan: “Sekarang saya mengetahui, kenapa bininya Lut dalam peristiwa Sodom dan Gomora, menoleh ke belakang dan jadi tiang garam.”
“Mengapa?” Tanya Bapak Netano yang hadir juga ketika Bapak Lutus almarhum memberi wejangan Sodom dan Gomora.
“Rupanya ketika meninggalkan rumahnya, dipertengahan jalan, bininya Lut teringat kepada harta bendanya yang ditinggalakannya dank arena itu ia menoleh ke belakang, lalu jadi tiang garam.”
Lalu semuanya teringat kepada Bapak Lutus almarhum dengan sepeda motornya. Mereka mengangguk-angguk.

Kompas, 30 November 1980


Tidak ada komentar:

Posting Komentar