CERPEN
KOMPAS PILIHAN 1980
SODOM DAN GOMORA
Agus
Vrisaba
Sementara
Bapak Pendeta sakit, Bapak Lutus menggantikanya memberikan wejangan pada setiap
pertemuan mingguan yang dilakukan secara bergilir di rumah-rumah anggota
jemaah. Para anggota jemaah sendiri yang menetapkannya sebagai pemberi
wejangan, setelah disetujui oleh Bapak Pendeta. Mereka memandang Bapak
Lutus sebagai satu-satunya sesama anggota jema’ah yang cocok untuk tugas itu.
Selain karena kesetiaanya mengunjungi gereja setiap hari Minggu dan menghadiri
setiap pertemuan mingguan, tanpa pernah sekali pun absen, beliau juga dianggap
mempunyai pengetahuan yang luas mengenai Alkitab. Sebab, di samping setia
mendengarkan khotbah Bapak Pendeta di
gereja dan wejanganya dalam pertemuan mingguan, Bapak Lutus juga rajin mempelajari Alkitab di rumahnya
sendiri.
Sore
itu, dalam pertemuan mingguan di rumah Bapak Martin, dengan caranya yang sangat memukau, Bapak Lutus mengambil
peristiwa Sodom dan Gomora sebagai bahan wejangannya. Tanpa menjamah Alkitab
yang terletak di atas meja di depannya, beliau menceitakan peristiwa Sodom dan
Gomora dengan mengutip setiap kalimat dalam Kitab Kejadian 19, di mana
peristiwa itu termaktup, dengan sangat cepat, sehingga para pendengarnya sangat
kagum kepadanya. Ini menunjukan, bahwa isi Alkitab telah beliau hafal sampai ke
setiap katanya.
“Maka
bini Lut itu menoleh ke belakang, lalu jadilah ia sebatang tiang garam,”
katanya dengan tekanan berat pada kalimat ini. Kemudian beliau berhenti sejenak
sebelum melanjutkannya lebih jauh, untuk memandangi mata para pendengarnya satu
per satu, seakan hendak menguji adakah kengerian di mata mereka itu?
Ketika
Bapak Lutus selesai memberi wejangan,
pertemuan mingguan itu dilanjutkan dengan pembicaraan-pembicaraan ringan. Akan
tetapi, sebagian hadirin masih terpukau oleh wejangan Bapak Lutus barusan,
sehingga pembicaraan mereka masih berkisar sekitar peristiwa Sodom dan Gomora.
Sekali lagi Bapak Lutus menekankan makna peristiwa Sodom dan Gomora itu untuk
zaman sekarang.
“Manusia
sekarang,” kata Bapak Lutus,” serupa dengan penduduk kedua kota yang terletak
di ujung selatan Laut Mati pada zamannya itu. Kejahatan terjadi di mana-mana
dan Tuhan hanya menjadikan dunia ini sebagai Sodom dan Gomora. Dan hanya
orang-orang yang menghadirkan Tuhan ke dalam batinya, bukan hanya sekedar di
bibir saja, yang akan diselamatkan seperti Lut dan kedua orang anak gadisnya
itu.”
Para
hadirin mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka hendak mengajukan
pertanyaan: “Tapi, mengapa bininya Lut menoleh ke belakang?”---, tapi
membatalkanya karena Bapak Lutus sudah bangkit berdiri dan pamitan kepada Bapak
Martin, diiringkan oleh yang lain-lain.
Dalam
perjalanan pulang Bapak Lutus merasa senang. Hampir semua yang hadir di dalam pertemuan mingguan
di rumah Bapak Martin itu memuji-mujinya. Masih mengiang di telinganya ucapan
Bapak Martin sendiri: “Nama anda mengandung nama Lut dan Anda memang tepat
menyandang nama itu, sebab jika dunia dibinasakan seperti Sodom dan Gomora, maka
Anda tentu akan diselamatkanya.”
Mengapa
tidak? Setiap pagi, bangun dari tidur dia berdoa. Mau sarapan dia berdoa. Mau
mulai bekerja di kantornya, dia berdoa. Makan siang sebelum dan sesudahnya, dia
berdoa. Makan malam, bersama-sama anak-anak dan istrinya, mereka berdoa. Hendak
tidur dia buka Alkitab dan membacanya sampai kantuknya tiba, kemudian memuji
namaNya, baru tidur. Pada setiap kali diterima uang gajinya, tak lupa ia memuji
namaNya.
Sesampai
di rumah, dengan sangat puas dan wajah penuh senyum, dia ceritakan apa yang
sudah terjadi di rumah Bapak Martin. “Sangat besar, kemungkinannya.” Katanya,
“Aku akan diangkat menjadi Pendeta. Itulah harapanku. Dan, kalau itu nanti
terjadi, kita tak perlu lagi mengontrak rumah, kita akan tinggal di rumah di
samping gereja itu. Uang yang biasanya kita pakai untuk mengontrak rumah, bias
kita tabung.”
Istrinya
hanya diam saja. Bukanya tidak senang, tapi ia takut salah berkomentar, seperti
sudah sering terjadi, darah tinggi suaminya akan memuncak, dan ia akan sangat
menderita kalau sampai diamuk.
Waktu
makn malam, Rino, anak lelakinya yang tertua, tidak hadir. “Ke mana Rino?”
tanya Bapak Lutus kepada istrinya.
“Pergi
dengan sepeda motornya yang baru,”jawab istrinya.
“Kenapa
dibiarkan saja? Sepeda motor itu masih
baru, nanti dia menaikinya dengan kencang sehingga mesinnya bisa rusak,”kata
Bapak Lutus.
Istrinya
tak buka mulut lagi, takut salah. Merekas makan dengan diam. Bapak Lutus agak
terganggu pikirannya, sehingga selesai makan dia lupa berdoa.untung istrinya
memperingatkanya.
Ketika
sedang menyaksikan acara televisi, Rino datang tanpa diawali deru sepeda
motornya. Wajahnya pucat. “Mana sepeda motornya?” Tanya Bapak Lutus. Tapi, Rino
geragapan dan lama tak bias menjawab. Bapak Lutus bangkit dari duduknya,
mendekati anak lelakinya itu dan mengulangi lagi pertanyaanya.
“Hi…hi…hi…lang!”
jawab Rino membikin Bapak Lutus tersentak dan wajahnya seketika lebih pucat
dari wajah Rino.
“Apa?”
“Saya…saya
pergi ke rumah teman. Sep…sepeda motor itu saya…saya taruh di…di…diluar. Dan…”
“Kau
tentu lupa menguncinya!” bentak Bapak Lutus.
“Tid…tid…
Ya!”
Bapak
Lutus menampar pipi kiri anaknya, Sekarang wajahnya merah-padam. Rino masih
berdiri di depannya,seakan menyediakan pipi kanannya. Bapak Lutus menampar pipi
kanannya. Rino mundur.
“Kau
tahu, aku beli sepeda motor itu dengan uang yang aku tabung berbulan-bulan
lamanya… dan bukan untuk-mu! Aku beli sepeda motor itu untuk aku pergi ke
kantor, agar bisa menghemat uang transport. Tapi, sekarang kau telah
menghilangkannya. Aku naik apa ini?”
“Maaf,
Pak, saya… saya tidak sengaja.”
“Tidak
sengaja! Begitu gampang kau berkata. Sudah lapor ke polisi!”
Setelah
Rinon pergi, seisi rumah dimarahinya. Istrinya juga kena tampar. “Kenapa kau
biarkan anak bengal itu memakainya!” hardik Bapak Lutus kepada istrinya. “Kau
ini macam bininya Lut!”
“Aku kan tidak tahu
kalau mau kejadian begini!”
Tangan Bapak Lutus melayang ke pipi kanan
istrinya dan istrinya terdiam dan istrinya terdiam.
Semalam
bapak Lutus tidak bisa tidur. Hilangnya sepeda motor itu membuat hatinya merasa
sangat kesal, kecewa, dan menyesal.
Tanpa berdoa lagi dia banting tubuhnya ke atas pembaringannya. Tidak ada waktu
menghadirkan Tuhan ke dalam batinya. Pikiranya penuh diliputi ke kecewaan dan
sesal. Baru dua kali dia sepeda motornya itu. Kalau tahu begini, dia lebih baik
tidak memakainya ke rumah Bapak Martin, dia berpikir lain. Kalau dia naik
sepeda motor, hadirin di pertemuan mingguan itu tentu akan memandangnya sebagai
orang yang masih dipengaruhi harta dunia. Di depan mata mereka dia harus
kelihatan seperti orang sederhana, tidak tergoyahkan oleh godaan, yang
seperti sering dia katakana kepada
mereka, pada zaman ini begitu banyak , antara lain barang-barang mewah, mobil,
sepeda motor, televisi, dan sebagainya dan sebagainya.
Setelah
semalam tak tidur, besok paginya-hari Minggu Bapak Lutus masih uring uringan.
Dan, untuk pertama kalinya dia lupa ke gereja. Sepanjang hari kerjanya hanya
uring-uringan atau duduk berwajah mendung. Makan tanpa selera, minum tidak
disentuhnya. Malamnya dia tidak tidur lagi.
Keesokan
harinya seisi rumah gempar. Istrinya
menemukan dia sedang berdiri kaku di belakang jendela dalam kamarnya, dengan
kepala menoleh ke belakang, dan sudah mati. Kulitnya begitu kering dan
bergaram.
Pada
pertemuan minggu berikutnya, sekali ini di rumah Bapak Netano, seseorang
mengatakan: “Sekarang saya mengetahui, kenapa bininya Lut dalam peristiwa Sodom
dan Gomora, menoleh ke belakang dan jadi tiang garam.”
“Mengapa?”
Tanya Bapak Netano yang hadir juga ketika Bapak Lutus almarhum memberi wejangan
Sodom dan Gomora.
“Rupanya
ketika meninggalkan rumahnya, dipertengahan jalan, bininya Lut teringat kepada
harta bendanya yang ditinggalakannya dank arena itu ia menoleh ke belakang,
lalu jadi tiang garam.”
Lalu
semuanya teringat kepada Bapak Lutus almarhum dengan sepeda motornya. Mereka
mengangguk-angguk.
Kompas, 30
November 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar