Waktu Nayla
NAYLA melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam
lima petang. Namun, langit begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia
menjadi muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung
kecemasan. Apakah jam tangannya mati? Lalu jam berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam di mobilnya. Juga
jam lima petang. Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam lima petang. Ia memijit
nomor satu nol tiga. Terdengar suara operator dari seberang, "Waktu menunjukkan
pukul tujuh belas, nol menit, dan dua puluh tiga detik." Lalu manakah yang
lebih benar. Penunjuk waktu atau gejala alam? Nayla menambah kecepatan laju
mobilnya. Kemudi di tangannya terasa licin dan lembab akibat telapak tangannya
yang mulai basah berkeringat. Ia harus menemukan seseorang untuk memberinya
informasi waktu yang tepat. Tapi
jika Nayla berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara
masih begitu jauh jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla
sangat tidak ingin kehilangan waktu. Seperti juga ia tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan.
Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi dekat
segerombolan anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan
menanyakan jam kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan
sebelumnya, jawaban dari mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit
perbedaan pada menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat
tiga, dan jam lima lewat tujuh. Nayla semakin menyesal telah membuang waktu
untuk sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu jam lima
petang. Berarti benar ia masih punya banyak waktu. Sebelum jam tangannya
berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah
menjadi abu.
|
Entah kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati. Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Ketika cincin melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus menghentak dinding perutnya. Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari. Menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu. Mengiris wortel. Pergi ke dokter.Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam kegelapan. Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang selama ini ia idam-idamkan. Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana. Mempermudah kegiatannya sehari-hari. Menuntunnya menjadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan saatnya menabur bunga di makam orang tua, kakek, nenek dan leluhur. Membeli hadiah Natal, ulang tahun dan hari kasih sayang. Mengirim pesan sms kepada si pencari nafkah supaya tidak terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak supaya tidak terlambat menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar. Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam.
Gerakan mekanis rutinitas kehidupan. Menggelinding di atas
jalan bebas hambatan. Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin tik
membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah suara karyawan di kafetaria
gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza Senayan. Mengeluh bersama sahabat tentang
cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di
diskotek. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan
nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie
rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala
Dunia di Sports Bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan
tangan ketika memasangkan celemek di paha kekasih dengan tangan bergetar.
Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang
tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada
berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan jantung
berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar. Bercinta dengan rasa, jantung,
dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak, mata,
hidung, mulut, pipi, raga, berdebar. Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir
dalam lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan.
|
|
Dan suara alarm jam ketika jarum panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya menunjuk angka enam. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun ke depan. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Suara alarm itu, adalah suara yang menyadarkannya kembali dari pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan.
***
|
***
|
Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang perhatian. Kurang waktu.... Waktu... Waktu... Waktu... Waktu...................? Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca buku lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio twenty one. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar. Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam.
***
Apa yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa sama
sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang
sedang memberi pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu?
Apakah hidup diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik?
Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah
mengulurkan tangan? Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki
penuh berisi bahan bakar.
Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah
mulai habis, ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan,
untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan. Nayla
memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh
memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan,
sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan
dirinya berubah jadi abu...
***
Cerpen:
Djenar Maesa Ayu
Sumber: Kompas, Edisi 03/31/2002
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar